Thursday, April 14, 2011

Kutu Loncat Dinilai Ingin Lindungi Diri Dari Korupsi

Diduga Mereka Masuk Daftar 61 Kepala Daerah Yang Belum Diperiksa


Belakangan ini makin marak kepala daerah yang jadi kutu loncat. Membelot dari partai asalnya dan beralih ke partai lain. Fenomena ini dinilai sejumlah pengamat sebagai upaya melindungi dirinya dari jeratan dugaan kasus hukum.

Pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Prof Budiyatna menduga ada beberapa kutu loncat itu masuk dalam daftar 61 kepala daerah yang disinyalir izin pemeriksaannya belum keluar.
“Ya, saya menduga, mereka (para kutu loncat ) itu masuk dalam daftar 61 kepala daerah yang sampai saat ini proses hukumnya masih belum jelas,” jelasnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Saat ini, lanjutnya, Partai Demokrat menjadi tempat paling nyaman terhadap pengusutan kasus korupsi. “Meski demikian, mereka akan tetap jadi bidikan aparat hukum seperti KPK. Karena partai penguasan tidak akan selamanya berkuasa,” paparnya.
“Saat ini, sejumlah orang pindah partai bukan karena ideologi, tapi untuk mencari kekuasaan, keamanan dan perlindungan,” tambahnya.

Sebelumnya, Indria Samego, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai, fenomena kutu loncat atau kepala daerah pindah dari partai satu ke partai lain adalah sebagai usaha penyelamatan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya dengan bergabung ke partai penguasa.
"Jadi, fenomena pindah partai itu karena alasan politik praktis. Pertama karena ada upaya untuk menyelamatkan diri dari berbagai macam pengusutan-pengusutan yang dilakukan KPK dan lain-lain,” kata Indria seusai diskusi di Akbar Tandjung Institute, Jakarta.

Menurut Indria, walaupun pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, kalau kendaraannya partai besar, maka politisi yang bersangkutan akan lebih aman, baik sebelum pemilihan maupun nanti pada saat dia memerintah.
"Kalau dia gubernur yang diusung partai besar relatif dia akan memiliki kawan di parlemen. Tapi, kalau dia diusung partai kecil, maka dia akan berhadapan dengan partai besar yang akan menunjukkan dendamnya ke partai kecil,” tambahnya.

Senada dengannya, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan menilai, beberapa kepala daerah yang pindah ke partai penguasa sebagai alat untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.

Sebagai partai berkuasa, kata Abdullah, membuat para kepala daerah ini lebih nyaman karena dianggap bisa menyelamatkan mereka. ”Ada indikasi begitu. Misalnya, ada beberapa kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota yang sudah merapat ke partai penguasa. Ya kepentingannya untuk mengamankan posisi mereka,” paparnya.

Agusrin, lanjut Abdullah, sebelumnya diusung oleh PKS dan PBR sebagai Gubernur Bengkulu periode 2005-2010. Satu bulan setengah setelah terpilih, Agusrin menyeberang ke Demokrat dan menjadi ketua umum Demokrat Bengkulu.

Agusrin kemudian terganjal kasus dugaan korupsi penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada tahun 2006 yang merugikan negara sekitar Rp 23 miliar.

Selain nama Agusrin, ada nama Walikota Semarang Sukawi Sutarip. Sukawi yang merupakan ketua DPD Demokrat Jawa Tengah sebelumnya merupakan kader PDI Perjuangan. Dia dua periode berturut-turut menjadi walikota Semarang.

Sukawi ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2008 karena diduga terlibat kasus penyelewengan dana APBD Semarang pada 2004.

Lalu ada nama Djufri yang merupakan mantan walikota Bukit Tinggi. Sebelumnya Djufri merupakan kader PBB. Dia tersangkut korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan Kantor DPRD dan Pool Kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi yang diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 1,2 miliar, dan ditetapkan menjadi tersangka, pada 2009.

Ismunarso, mantan Bupati Situbondo merupakan contoh lainnya. Ismunarso sebelumnya adalah kader PPP. Dia tersangkut kasus penyelewengan dana APBD Situbondo tahun 2006-2007 –dikenal sebagai kasus kas daerah (Kasda)– yang merugikan negara Rp 43,7 miliar.

Lalu ada nama mantan Bupati Pamekasan Ahmad Syafii yang juga menyeberang dari PPP ke Demokrat, lalu Satono, Bupati Lampung Timur yang sebelumnya "keluarga" partai beringin dan Wakil Bupati Toraja Andarias Palino Popang yang sebelumnya juga berasal dari Golkar.

Sebelumnya, Ketua Umum PPP Suryadarma Ali menyayangkan, sikap sejumlah kader partai politik yang gonta-ganti partai.

Dia memberikan julukan kutu loncat bagi sejumlah kepala daerah yang pindah partai.
Bahkan, kata SDA-sapaan akrabnya, sebutan kutu loncat itu masih terbilang halus ketimbang pengkhianat. SDA menilai para kutu loncat itu hanya memanfaatkan partai sebagai kendaraan. “Manakala tujuannya sudah mencapai, kendaraan itu pun dia tinggalkan. Dia tak lagi peduli,” jelasnya. QAR

No comments:

Post a Comment