Friday, April 22, 2011

Perludem Tolak Draf RUU Pilkada Versi Kemendagri

Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi (Perludem) tidak sepakat dengan draf RUU Pilkada yang susun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sebab, dalam draf itu, Kemendagri mengusulkan pencabutan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan sengketa pilkada.
Peneliti Perludem Veri Junaidi mengatakan, kinerja MK dinilai membuahkan hasil bagi penataan demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, MK telah memberikan ruang bagi terciptanya keadilan substantif dalam proses transisi kekuasaan.
“Disaat kepercayaan publik melemah atas kinerja penegakan hukum pemilu, MK justru memberikan secercah harapan dengan menyelesaikan sengketa pilkada secara baik,” kata Veri kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Terkait banyak yang ketidakpuasan hasil penyelesaian pilkada di MK, Veri mengatakan, tak sepenuhnya kesalahan ada di tangan MK, tapi para pihak yang berperkara juga harus mempertimbangkan kelayakan dan potensi permohonannya.
“Apakah akan berhasil atau tidak, ternyata hanya 10 persen saja permohonan yang dikabulkan MK,” paparnya.
Seharusnya, lanjutnya, RUU Pilkada justru menguatkan peran MK dalam menyelesaikan persoalan hasil pilkada.
Langkah memindahkan kewenangan MK ke Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tinggi, kata dia, bukan jawaban dalam menyelesaikan persoalan hasil pilkada.
Sementara itu, pakar hukum Topo Santoso mengatakan, banyaknya sengketa pilkada yang diajukan ke MK disebabkan dua hal.
Pertama, akibat tidak mengerti dasar gugatan yang harus diajukan.
Kedua, banyak pelanggaran dan sengketa dalam tahapan pemilu yang semestinya diselesaikan Panwaslu atau penegak hukum, justru diajukan ke MK.
Dijelaskan, pemohon memasukkan gugatan terkait pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilu dan sengketa dalam tahapan pemilu itu sebagai dasar gugatan.
Padahal, kata Topo, hal itu bukan wewenang MK untuk menyelesaikannya. “Untuk tindak pidana pemilu atau election offences diselesaikan oleh sistem peradilan pidana seperti kepolisian, penuntut umum, dan pengadilan. Sementara pelanggaran administrasi seharusnya diselesaikan KPU atau KPUD,” jelasnya.
“Sementara sengketa dalam proses atau tahapan pilkada diselesaikan Bawaslu atau Panwaslu. Sayangnya, keputusan Bawaslu atau Panwaslu meski disebut final dan mengikat, seringkali tidak sekuat putusan lembaga yudikatif, sehingga kerap diabaikan,” tambahnya.
Dikatakan, jika kewenangan MK itu dikembalikan ke Pengadilan Tinggi, maka pemerintah kembali akan disibukan dengan pembentukan peradilan pemilu dan hakim pemilu dalam menyelesaikan sengketa pilkada.
Perlu diketahui, RUU Pilkada yang disusun Kemendagri Februari 2011 mengusulkan pencabutan kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada.
Pasal 130 ayat (1) draft RUU Pilkada secara tegas menyebutkan terhadap penetapan rekapitulasi penghitungan suara dan penetapan calon bupati/ walikota terpilih, calon yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Tinggi paling lambat tiga hari setelah penetapan.
Lebih lanjut Ayat (5)menegaskan keberatan yang dimohonkan tersebut hanya dapat diajukan terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya/penetapan pemenang calon bupati/walikota.
Sementara, kata Perludem, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 jelas-jelas menegaskan MK yang berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sepanjang pilkada masih merupakan pemilihan umum, maka perselisihan hasilnya mesti diputuskan MK. QAR

No comments:

Post a Comment