Friday, December 7, 2012




80 Persen Tender Proyek Pemerintah Bermasalah
Nggak Punya Upaya Paksa 
KPPU Putuskan 265 Perkara


Praktik kongkalikong dalam proses tender masih banyak terjadi. Hal itu dibuktikan banyaknya pengaduan yang diterima Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU).

SEPANJANG  tahun 2000-2012 KPPU menerima 1.735 laporan, tapi yang layak ditindaklanjuti 265 perkara saja.  Di antaranya terkait kasus Indomaret, tender divsestasi Indomobil, Astro TV, VLCC Pertamina, Carrefour, serta pembelian saham Indosat dan Telkomsel oleh Temasek.
Dari 265 perkara itu, 89 perkara telah diputuskan KPPU. Rinciannya, 50 perkara diperkuat Pengadilan Negeri, dan 39 perkara dibatalkan. Di tingkat kasasi terdapat 68 perkara. Mahkamah Agung memperkuat 50 perkara yang diputuskan KPPU.
Diungkapkan, laporan dan perkara ditangani KPPU sebanyak 80 persen merupakan tender proyek lembaga pemerintah yang diduga bermasalah. “Paling banyak persaingan tender sebanyak 80 persen kasus tender,” kata anggota KPPU Sukarmi kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Diungkapkan,  membeberkan, dalam struktur kepegawaian meski KPPU diberikan kewenangan untuk menyusun sendiri, tapi ternyata kita tidak dimasukkan dalam sistem birokrasi. “Makanya, tak aneh banyak pegawai KPPU yang mengundurkan diri,” kata Sukarmi.

Dalam penanganan perkara, KPPU kerap kesulitan memanggil para pihak, karena tak memiliki kewenangan melakukan upaya paksa. “Kita perlu minta bantuan penyidik Polri,” ujarnya.
Menurutnya,  KPPU juga sering kesulitan mendapatkan bukti direct efiden (bukti langsung) yang berupa perjanjian baik secara tertulis ataupun lisan dalam mengungkap kasus kartel dalam persaingan usaha.
Diperlukan bukti bukti-bukti ekonomi. Misalnya, terjadi paralelism harga. Kenapa terjadi harga yang sama antara pelaku usaha tersebut. patut diduga telah terjadi praktik kartel. “Kami berharap ke depan agar bukti ekonomi menjadi alat bukti yang sah,” ujarnya.
Menurutnya, revisi Undang-Undang No 5 Tahun 1999 diharapkan dapat memperjelas kewenangan dan kelembagaan KPPU.  “Banyak kekurangan dan kelemahan yang membuat KPPU jadi sulit untuk bertindak, terutama mengenai hak sita dan hak paksa. Tapi  Revisi bukan kewenangan KPPU. Kita hanya menyiapkan naskah akademis.,” tuturnya.
Komisioner KPPU lainnya, Tadjuddin Noer Said menduga, ada pihak-pihak tertentu berusaha memperlemah lembaganya dengan mengajukan amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. “Mereka itu kelompok perusahaan besar yang mencoba memengaruhi pemerintah agar kewenangan KPPU dikurangi. Diduga kebanyakan mereka yang tak puas dengan keputusan kami, ” katanya.
Di berharap kepada DPR, dalam merevisi Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1999 tidak hanya mendengarkan masukan dari para pengusaha, melainkan juga dari KPPU.
“Pemikiran kami sangat sederhana, untuk apa ekonomi nasional meningkat, tetapi tidak merembes ke bawah. Itu kan berarti pertumbuhkan ekonomi tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat,” tegasnya.
Meskipun Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. mengamanatkan KPPU wajib menjaga kepentingan umum, efisiensi, dan mencegah praktik monopoli, tapi lembaga yang bermarkas di kawasan Jakarta Pusat ini banyak menghadapi kendala.
Minimnya kewenangan dan perhatian pemerintah membuat keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipandang sebelah mata.
Kondisi  itulah yang nantinya akan dihadapi sembilan komisioner baru KPPU yang telah terpilih di DPR pada Selasa lalu untuk lima tahun mendatang. (Lihat tabel di bawah ini). QAR

Inilah Pejabat KPPU Periode 2012-2017

1. Nawir Messi
2. Tresna P Soemardi
3. Syarkawi Rauf
4. Sukarmi
5. Munrokhim Misanam
6. Saidah Sakwan
7. Kurnia Sya'Rannie
8. Chandra Setiawan
9. Kamser Lumbanradja


Erik Satrya Wardhana, Wakil Ketua Komisi VI DPR
Pemerintah Dipengaruhi
Kepentingan Asing

Banyaknya proyek tender milik pemerintah bermasalah diduga menjadi penyebab minimnya dukungan terhadap KPPU.
Salah satu bentuk ketidakseriusan pemerintah terhadap KPPU, di antaranya  menjelang fit and proper test komisioner KPPU. DPR berpendapat, komposisi komisioner KPPU itu harus lebih dari sembilan orang mengingat kapasitas dan beban kerja yang begitu banyak. “Kami usul menjadi 13 orang pada Januari. Tapi, pemerintah menolak. Itupun kami terima jawabannya September 2012 lalu.”
Patut diduga dipengaruhi  intervensi asing  ikut memengaruhi sikap pemerintah terhadap KPPU. Kalau lembaga itu bekerja efektif dan power full tentu bisa menghambat kepentingan memainkan kartel dan oligopoly.
Sekalipun kewenangan KPPU terbatas, DPR berharap komisioner terpilih memiliki tak ciut nyali dan tetap berintegritas. Yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman perkara yang ditangani agar dapat membuat suatu keputusan yang tepat. “Jangan berpihak pada pengusaha tertentu karena iming-iming tertentu.”
QAR

Thursday, November 22, 2012

126 Bocah Hilang Di Rumah Sakit & Sekolah-Sindikat Penculikan Beredar Di Mana-mana

   “Dia Cello Aditya anakku,” itulah jeritan Syifa Maesyatul Khoirot (20) yang didampingi suaminya Jaja Nurdiansyah (31) menjelang tes DNA untuk kedua kalinya di Laboratorium Lembaga Eijkman, Jakarta, belum lama ini.
   Pasangan suami isteri ini ya­kin, bayi laki-laki yang ditemu­kan dalam kardus di kampung Pon­col, Cikarang Utara, Oktober lalu adalah anaknya yang hilang di Rumah Sakit Siti Zachroh, Jl Hasanuddin 84, Tambun, Bekasi pada September 2012.
   Sekalipun hasil tes DNA me­nun­jukkan bayi yang polisi namai Muhammad Jalil itu bukan anak kandung Jaja-Syfah, tapi karena keyakinan pasangan paruh baya itu, akhirnya Polres Bekasi mem­percayakan kepada mereka untuk merawat bayi tersebut.
   Sampai kini Polresta Bekasi masih belum bisa menangkap pe­lakunya.
   Tangisan Jaja-Syifa ini meru­pa­kan satu dari ratusan pasangan yang masih kehilangan anaknya.
Berdasarkan catatan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepan­jang Januari-Oktober ada 126 ka­sus penculikan anak. 37 kasus di antaranya hi­lang di Rumah Sakit, Klinik Ber­salin maupun Pus­kesmas. Se­lebihnya hilang dari ling­kungan rumah, sekolah dan tempat ber­main.
   Angka ini meningkat di­ban­dingkan kasus pen­culikan anak pada tahun 2011, yakni sebanyak 86 kasus, 26 bayi diculik di lokasi yang sama.
   “Modus operandinya dengan ca­­ra mendekati korban dan menga­ku sebagai tenaga medis rumah bersalin.  Setelah keluarga tidak menaruh curiga, sindikat penculikan bayi kemudian mem­bawa lari bayi yang diincar,” kata Ketua KPAI, Arist Merdeka Sirait saat berbincang kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
   Dijelaskan, mudahnya para pelaku menculik anak karena sindikat penculikan bayi berbasis di rumah bersalin, rumah sakit, klinik bersalin, dan puskesmas.
   Sin­dikat itu melibatkan dan me­manfaatkan tenaga kesehatan se­perti suster, bidan, bahkan pe­tu­gas kebersihan dan petugas me­dis magang. Pelaku meman­faat­kan kelengahan keluarga korban yang menyangka mereka petugas medis biasa.
   Menurutnya, sering kali pelaku memanfaatkan kelengahan para petugas kesehatan dan lemahnya sistem keamanan rumah bersa­lin.”Sasaran para pelaku penculik bayi di rumah bersalin adalah ba­yi yang berusia lima hari ke ba­wah,” ucapnya.
   Pemilihan umur tersebut untuk mempermudah pengalihan iden­ti­tas bayi, baik akta lahir maupun surat kenal lahir.
   Dikatakan, tujuan penculikan anak-anak di bawah satu tahun un­tuk tujuan adopsi ilegal, baik un­tuk memenuhi permintaan dalam negeri maupun permin­taan lintas negara. Fakta yang te­rungkap, adopter bayi-bayi yang diculik itu memberikan imbalan kepada pelaku penculikan de­ngan kisaran Rp 5-10 juta per bayi sebagai pengganti biaya per­­salinan dan perawatan.
   “Anak-anak yang diculik ada juga yang dieksploitasi seksual dan ekonomi dengan umur 12 tahun. Mereka dipekerjakan di ja­lanan maupun di tempat-tem­pat prostitusi,” bebernya
   Dari segi penegakan hukum, Komnas PA menilai, aparat pe­ne­gak hukum tak maksimal memberantas para pelaku sin­dikat penculikan dan perko­saan anak.
   Menurutnya, kondisi itu terja­di bukan disebabkan keku­ra­ngan sumber daya manusia, na­mun lebih pada keefektifan struk­tur Polri.
   “Perlindungan Pe­rempuan dan Anak (PPA) hanya setingkat unit, dan ada di Polres. Harusnya  se­tingkat Satuan dan di tiap Pol­sek,” sesalnya.
   Akibatnya, kata dia, segala ke­pu­tusan penyelidikan kasus pidana perempuan dan anak di bawah umur  harus melalui ka­sat res­krim terlebih dahulu, baru pe­nye­lidikan bisa dilanjutkan. Struk­tur tersebut dianggap mem­perlama proses penyelidikan, se­hingga pengungkapan kasus tidak mak­simal.
   Kepolisian memang telah me­miliki struktur khusus untuk me­nangani kasus perempuan dan anak, yaitu Unit Perlindungan Pe­rempuan dan Anak.
   Namun, unit itu berada di bawah naungan Sa­tuan Reserse Kriminal. PPA juga tidak berada di tiap Polsek.
Terpisah, Kepala Biro Pene­rangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar memastikan akan menyelidiki dugaan pen­culikan anak serta perdagangan organ tubuh manusia yang kian marak.
   Menurutnya, Kapolri telah me­merintahkan seluruh Kapolda segera mengusut laporan pen­­cu­likan anak. Selain upaya pe­nin­dakan, Polri juga melakukan pe­nyuluhan terhadap pihak seko­lah maupun orang tua, agar lebih ketat melakukan penga­wasan terhadap anak-anak.
   “Kami juga menggandeng Ko­misi Nasional (Komnas) Per­lin­du­ngan Anak dalam menangani kasus penculikan anak,” ucap­nya.

  Hukumannya Setara Dengan Kejahatan Teroris & Narkoba
  Muhamad Baghowi, Anggota Komisi VIII DPR

   Pelaku penculikan anak ha­rus dihukum berat. Bila perlu se­tara dengan vonis yang dibe­ri­kan kepada teroris dan penge­dar narkoba.
   Kejahatan penculikan anak bisa terus meningkat tiap tahun­nya. Pernikahan menginjak usia 43 tahun di luar negeri memicu persoalan ini.
   “Artinya, di usia itu mereka su­dah tidak produktif lagi. Ini yang memicu meningkatnya per­mintaan adopsi illegal.”
   Sekalipun memiliki naluri sebagai ibu dan menginginkan anak, tapi wanita-wanita di luar ne­geri tidak meng­ingin­kan ada­nya perubahan pada tu­buhnya.
   Untuk mencegah penculikan, diharapkan Rumah Sakit Ber­sa­lin dan Sekolah TK atau PAUD bisa memperketat penga­wa­san. Jangan membiarkan “orang asing” berkeliaran.
   Sedangkan untuk menghen­tikan eksploitasi anak, diperlu­kan kerja sama menyeluruh anta­ra pemerintah, aparat pe­negak hukum dan masyarakat sekitar, agar keselamatan anak terjamin.
   “Biasanya anggota sindikat penjualan anak ber­pu­ra-pura bekerja sebagai pem­bantu atau sebagai pengasuh anak.”
   Modus-modus tersebut perlu diketahui para orang tua. De­­ngan demikian memilih pe­ngasuh anak ataupun pem­ban­tu rumah tangga dapat dilakukan secara selektif.
   “Orang tua harus menyerah­kan kepercayaan ter­hadap orang yang telah dike­nal­nya.”

Peran Aktif Orang Tua Sangat Menentukan
Anna Surti Ariani, Psikolog Universitas Indonesia

   Peran aktif orang tua sangat besar dalam mencegah pencu­likan anak. Para orang tua harus mengenalkan area rumah ke­pada anak. “Kalau anak-anak su­­dah keluar dari area ini, me­reka harus berhati-hati.”
   Namun, yang tidak kalah pen­ting adalah menjalin hu­bungan baik dengan tetangga dan ling­kungan sekitar rumah. Di luar rumah, seperti di seko­lah, se­baik­­nya para orang tua yang me­ng­antar anak-anaknya lang­sung. Setidaknya perangkat sekolah dapat mengenali orang tua siswa melalui jalinan komu­nikasi.
   “Kalaupun ingin menitipkan anak, sebaiknya kepada orang de­kat yang dikenal dan diper­caya.”
Menitipkan anak kepada pem­bantu atau supir mesti de­ngan komunikasi yang baik, dan pas­tikan memper­la­kukan de­ngan baik orang yang dipercaya.
   “Persoalan gaji saja bisa men­jadi pemicu aksi penculikan.”
   Selain itu anak perlu diajarkan menerima ajakan dari orang yang tidak dikenal. “Sampaikan ke si kecil mereka harus berani, te­gas, dan waspada. Disapa, dija­wab secara sopan, tapi tetap ha­rus berani melapor ke orang tua bila menemukan hal mencu­rigakan.”
    Kepada pembantu, baby sis­ter dan supir pun dibiasakan me­lakukan laporan ke para orang tua saat menjaga anak. Qardhavi

Monday, November 19, 2012



Keikutsertaan Artis Di Pilkada
Cuma Kembang Gula Politik


Kebanyakan partai politik menyakini keikutsertaan artis dalam pemilukada mampu mendulang suara. Makanya saat ini menjadi fenomenal. Hanya saja dari sekian yang berhasil menduduki kepala/wakil daerah, belum ada yang terlihat prestasinya yang bersinar.


DI Pilkada Jawa Barat yang bakal digelar tahun depan sudah santer disebut-sebut calon dari kalangan artis. Ada nama Dede Yusuf sebagai petahana yang maju lagi sebagai Cagub. Dede akan diduetkan dengan Lex Laksamana yang merupakan bekas Sekretaris Daerah Jawa Barat. Keduanya diusung Partai Demokrat.

Demikian juga dengan Gubernur Ahmad Heryawan. Pria yang akrab di sapa Aher ini akan dipasangkan dengan aktor kawakan Deddy Mizwar. Kemudian ada Nurul Arifin yang santer dikabarkan akan mendampingi sebagai Cawagubnya Irianto MS Syafiuddin dari Golkar.
 
Direktur Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Arman Salam mengatakan, setidaknya ada empat variable untuk memenangkan pilkada, yakni, pengenalan, kesukaan, kepantasan dan dukungan.  

Menurutnya, untuk bisa menang di pilkada tak cukup mengandalkan popularitas. Bagi calon dari kalangan artis, modal awal berupa pengenalan sudah didapat. “Itu memudahkan untuk memasuki variable yang lain,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Namun tak selamanya para artis itu mampu meraup suara atau dukungan dari masyarakat. Banyak juga calon dari kalangan artis yang gagal. Sebut saja Saipul Jamil, Dery Drajat, ataupun Qomar. “Jelas itu menunjukkan popularitas tidak selamanya berbanding lurus dengan elektabilitas,” ucapnya. 

Selama ini, kata dia, Parpol meyakini artis dikategorikan orang-orang yang populer dan bisa mendulang suara. Padahal, bila hanya berpatokan pada popularitas bisa dipastikan akan kalah dengan calon non artis yang mempunyai modal sosial yang kuat.

Lalu bagaimana LSI memandang kepala daerah dari kalangan artis selama ini? Arman menegaskan, sampai saat ini belum terlihat prestasi yang bersinar. “Dede Yusuf dan Rano Karno secara faktual, kinerja mereka belum terlihat,” ucapnya. 

Arman berharap, partai politik dapat mencalonkan kadernya yang berkualitas, bukan sekadar mengandalkan popularitas. “Kalau hanya mengedepankan popularitas, artinya parpol itu tamak,” tukasnya.

Dalam pengamatan Arman, Rieke terbilang konsisten dengan paham oposisinya. Di DPR-pun dia cukup vocal menyuarakan kepentingan rakyat. Tapi, kata dia, di Pilgub Jabar, Rieke harus mampu melepaskan sekat-sekatnya sebagai pihak oposisi.

Hal senada diungkapkan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi. Dia menilai kemunculan artis dalam Pilkada merupakan bentuk “kemunduran” dari pesta demokrasi sesungguhnya. 

Menurutnya, menggaet artis adalah dianggap cara termudah dan ampuh bagi parpol dalam mendulang suara. Namun, tidak semua artis mampu memahami persoalan politik, sosial, ekonomi.

Banyak artis hanya tidak mementingkan intelektualnya yang teruji di lapangan. Mengikutsertakan artis sebagai pendorong perolehan suara melalui Pilkada merupakan metode kuno.

Namun untuk  artis seperti Deddy Mizwar  dan Rieke Dyah Pitaloka, Ari menilai banyak masyarakat sudah mengenal karakternya yang matang. “Di luar itu saya melihat hanya menjadi "bunga-bunga" pemanis Pilkada,” ujarnya.

Oleh karena itu, dia berharap parpol ikut mendewasakan rakyat melalui pencalonan calon-calon yang berkualitas, bersahaja, dan memiliki jejak rekam yang teruji serta bebas korupsi. 

“Sangat minim kontribusi pemikiran dan sumbangsih nyata dari artis-artis yang menjadi anggota DPR atau yang menang di Pilkada. Kemunduran Dicky Candra dari Wakil Bupati Garut, Jawa Barat seharusnya menjadi penilaian parpol-parpol di Pilkada,” katanya.

Menanggapi minimnya prestasi kepala daerah dari kalangan artis Bakal Cagub Jabar dari PDIP Rieke Diah Pitaloka mengatakan, tidak pas penilaian itu diberikan padahal kinerjanya belum diuji. “Tidak bijak mengkritisi seseorang yang maju dalam pilkada berdasarkan latar belakangnya,” katanya.

Soal dukungan dari kalangan buruh, anggota Komisi IX DPR ini menegaskan, kaum buruh berharap terhadap pencalonannya itu bisa membantu memperjuangkan kepentingan bersama.

Anggota Komisi X DPR Venna Melinda yang digadang-gadang dalam Pilkada Blitar  menegaskan bahwa tak ada larangan bagi artis untuk ikut pilkada. Menurutnya, Artis adalah warga negara yang tidak boleh didiskriminasikan. 

“Sepanjang prosesnya berjalan fair, tidak ada money politic, tidak ada black campaign, boleh-boleh saja artis ikut pilkada,” katanya.

Menurut dia, popularitas bukan penentu kemenangan, tapi hanya salah satu faktor saja. “Kalau artis ikut dalam pilkada jangan berharap diperlakukan secara khusus. Berbaurlah dengan masyarakat agar dapat mengetahui keinginan mereka. Hanya memang popularitas seseorang dapat membuat biaya kampanye tidak terlalu mahal, mudah dikenal dan sebagainya.”

Menurutnya, supaya setiap artis yang berminat atau termotivasi mengikuti bursa pilkada di satu daerah ataupun di tempat asalnya, tidak hanya mengandalkan popularitas, tetapi juga harus memiliki kapabilitas dan kredibilitas sebagai pemimpin. Misalnya,  karena ada tawaran dari partai yang bersedia mengusung. “Harus memiliki basis dukungan di tataran akar rumput,” tukasnya.

Langkah sejumlah artis maju sebagai kepala daerah melalui Pilkada, didukung artis Dicky Chandra. Bekas Wakil Bupati Garut ini meminta rekan-rekan seprofesinya untuk meluruskan niatnya sebelum maju di Pilkada. “Kalau mau memperkaya diri, ya bekerja saja jadi pengusaha. Memimpin adalah pengabdian. Tapi sekarang banyak yang terjebak kasus, itu karena tidak siap orang-orang sekelilingnya nggak siap,” tegasnya.

Dicky menyarankan, agar para calon pemimpin yang akan maju di Pilkada harus mengenali tempat yang akan dipimpinnya. Kemudian, pahami pahami pemerintahan, dan anggaran. 

Dikatakan, semua orang, termasuk para artis untuk berpolitik, karena dunia politik merupakan tempat strategis untuk turut membangun bangsa. Karena hanya lewat politik, kekuasaan sebagai kepala daerah bisa diraih. “Kalau semua benci siapa yang akan bangun Indonesia dari segi politik,” pungkasnya. QAR

 //////////

Teguh Juwarno, Wasekjen DPP PAN

Membuka Kesempatan
Bagi Semua Kalangan

PAN memberi ruang bagi artis untuk ikut penjaringan pemilu legislatif maupun  Pilkada dengan tetap mempertimbangkan kualitasnya Ketika berada di panggung politik para artis tidak lagi sekadar mengandalkan keartisannya. Mereka sudah dituntut bisa bekerja menjalankan tugas dan mewakili konstituennya. 

“Proses rekrutmen memang ada juga yang non kader, akan tetapi baik yang kader atau bukan mereka dididik dulu. Ada melalui diklat dan proses organisai di partai. Fungsinya untuk meningkatkan kemampuan intelektual.”

Sejak Pemilu 2008 PAN menyadari kepopuleran tidak sepenuhnya dapat menarik suara masyarakat. Saat ini para pemilih sudah pandai dalam menentukan pilihan untuk menjadi wakilnya di DPR. “Tidak ada diskriminasi. Selain artis, PAN juga memberi ruang para profesional yang lain, dosen, aktivis LSM, wartawan, kita buka lebar-lebar,” QAR