Thursday, November 22, 2012

126 Bocah Hilang Di Rumah Sakit & Sekolah-Sindikat Penculikan Beredar Di Mana-mana

   “Dia Cello Aditya anakku,” itulah jeritan Syifa Maesyatul Khoirot (20) yang didampingi suaminya Jaja Nurdiansyah (31) menjelang tes DNA untuk kedua kalinya di Laboratorium Lembaga Eijkman, Jakarta, belum lama ini.
   Pasangan suami isteri ini ya­kin, bayi laki-laki yang ditemu­kan dalam kardus di kampung Pon­col, Cikarang Utara, Oktober lalu adalah anaknya yang hilang di Rumah Sakit Siti Zachroh, Jl Hasanuddin 84, Tambun, Bekasi pada September 2012.
   Sekalipun hasil tes DNA me­nun­jukkan bayi yang polisi namai Muhammad Jalil itu bukan anak kandung Jaja-Syfah, tapi karena keyakinan pasangan paruh baya itu, akhirnya Polres Bekasi mem­percayakan kepada mereka untuk merawat bayi tersebut.
   Sampai kini Polresta Bekasi masih belum bisa menangkap pe­lakunya.
   Tangisan Jaja-Syifa ini meru­pa­kan satu dari ratusan pasangan yang masih kehilangan anaknya.
Berdasarkan catatan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepan­jang Januari-Oktober ada 126 ka­sus penculikan anak. 37 kasus di antaranya hi­lang di Rumah Sakit, Klinik Ber­salin maupun Pus­kesmas. Se­lebihnya hilang dari ling­kungan rumah, sekolah dan tempat ber­main.
   Angka ini meningkat di­ban­dingkan kasus pen­culikan anak pada tahun 2011, yakni sebanyak 86 kasus, 26 bayi diculik di lokasi yang sama.
   “Modus operandinya dengan ca­­ra mendekati korban dan menga­ku sebagai tenaga medis rumah bersalin.  Setelah keluarga tidak menaruh curiga, sindikat penculikan bayi kemudian mem­bawa lari bayi yang diincar,” kata Ketua KPAI, Arist Merdeka Sirait saat berbincang kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
   Dijelaskan, mudahnya para pelaku menculik anak karena sindikat penculikan bayi berbasis di rumah bersalin, rumah sakit, klinik bersalin, dan puskesmas.
   Sin­dikat itu melibatkan dan me­manfaatkan tenaga kesehatan se­perti suster, bidan, bahkan pe­tu­gas kebersihan dan petugas me­dis magang. Pelaku meman­faat­kan kelengahan keluarga korban yang menyangka mereka petugas medis biasa.
   Menurutnya, sering kali pelaku memanfaatkan kelengahan para petugas kesehatan dan lemahnya sistem keamanan rumah bersa­lin.”Sasaran para pelaku penculik bayi di rumah bersalin adalah ba­yi yang berusia lima hari ke ba­wah,” ucapnya.
   Pemilihan umur tersebut untuk mempermudah pengalihan iden­ti­tas bayi, baik akta lahir maupun surat kenal lahir.
   Dikatakan, tujuan penculikan anak-anak di bawah satu tahun un­tuk tujuan adopsi ilegal, baik un­tuk memenuhi permintaan dalam negeri maupun permin­taan lintas negara. Fakta yang te­rungkap, adopter bayi-bayi yang diculik itu memberikan imbalan kepada pelaku penculikan de­ngan kisaran Rp 5-10 juta per bayi sebagai pengganti biaya per­­salinan dan perawatan.
   “Anak-anak yang diculik ada juga yang dieksploitasi seksual dan ekonomi dengan umur 12 tahun. Mereka dipekerjakan di ja­lanan maupun di tempat-tem­pat prostitusi,” bebernya
   Dari segi penegakan hukum, Komnas PA menilai, aparat pe­ne­gak hukum tak maksimal memberantas para pelaku sin­dikat penculikan dan perko­saan anak.
   Menurutnya, kondisi itu terja­di bukan disebabkan keku­ra­ngan sumber daya manusia, na­mun lebih pada keefektifan struk­tur Polri.
   “Perlindungan Pe­rempuan dan Anak (PPA) hanya setingkat unit, dan ada di Polres. Harusnya  se­tingkat Satuan dan di tiap Pol­sek,” sesalnya.
   Akibatnya, kata dia, segala ke­pu­tusan penyelidikan kasus pidana perempuan dan anak di bawah umur  harus melalui ka­sat res­krim terlebih dahulu, baru pe­nye­lidikan bisa dilanjutkan. Struk­tur tersebut dianggap mem­perlama proses penyelidikan, se­hingga pengungkapan kasus tidak mak­simal.
   Kepolisian memang telah me­miliki struktur khusus untuk me­nangani kasus perempuan dan anak, yaitu Unit Perlindungan Pe­rempuan dan Anak.
   Namun, unit itu berada di bawah naungan Sa­tuan Reserse Kriminal. PPA juga tidak berada di tiap Polsek.
Terpisah, Kepala Biro Pene­rangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar memastikan akan menyelidiki dugaan pen­culikan anak serta perdagangan organ tubuh manusia yang kian marak.
   Menurutnya, Kapolri telah me­merintahkan seluruh Kapolda segera mengusut laporan pen­­cu­likan anak. Selain upaya pe­nin­dakan, Polri juga melakukan pe­nyuluhan terhadap pihak seko­lah maupun orang tua, agar lebih ketat melakukan penga­wasan terhadap anak-anak.
   “Kami juga menggandeng Ko­misi Nasional (Komnas) Per­lin­du­ngan Anak dalam menangani kasus penculikan anak,” ucap­nya.

  Hukumannya Setara Dengan Kejahatan Teroris & Narkoba
  Muhamad Baghowi, Anggota Komisi VIII DPR

   Pelaku penculikan anak ha­rus dihukum berat. Bila perlu se­tara dengan vonis yang dibe­ri­kan kepada teroris dan penge­dar narkoba.
   Kejahatan penculikan anak bisa terus meningkat tiap tahun­nya. Pernikahan menginjak usia 43 tahun di luar negeri memicu persoalan ini.
   “Artinya, di usia itu mereka su­dah tidak produktif lagi. Ini yang memicu meningkatnya per­mintaan adopsi illegal.”
   Sekalipun memiliki naluri sebagai ibu dan menginginkan anak, tapi wanita-wanita di luar ne­geri tidak meng­ingin­kan ada­nya perubahan pada tu­buhnya.
   Untuk mencegah penculikan, diharapkan Rumah Sakit Ber­sa­lin dan Sekolah TK atau PAUD bisa memperketat penga­wa­san. Jangan membiarkan “orang asing” berkeliaran.
   Sedangkan untuk menghen­tikan eksploitasi anak, diperlu­kan kerja sama menyeluruh anta­ra pemerintah, aparat pe­negak hukum dan masyarakat sekitar, agar keselamatan anak terjamin.
   “Biasanya anggota sindikat penjualan anak ber­pu­ra-pura bekerja sebagai pem­bantu atau sebagai pengasuh anak.”
   Modus-modus tersebut perlu diketahui para orang tua. De­­ngan demikian memilih pe­ngasuh anak ataupun pem­ban­tu rumah tangga dapat dilakukan secara selektif.
   “Orang tua harus menyerah­kan kepercayaan ter­hadap orang yang telah dike­nal­nya.”

Peran Aktif Orang Tua Sangat Menentukan
Anna Surti Ariani, Psikolog Universitas Indonesia

   Peran aktif orang tua sangat besar dalam mencegah pencu­likan anak. Para orang tua harus mengenalkan area rumah ke­pada anak. “Kalau anak-anak su­­dah keluar dari area ini, me­reka harus berhati-hati.”
   Namun, yang tidak kalah pen­ting adalah menjalin hu­bungan baik dengan tetangga dan ling­kungan sekitar rumah. Di luar rumah, seperti di seko­lah, se­baik­­nya para orang tua yang me­ng­antar anak-anaknya lang­sung. Setidaknya perangkat sekolah dapat mengenali orang tua siswa melalui jalinan komu­nikasi.
   “Kalaupun ingin menitipkan anak, sebaiknya kepada orang de­kat yang dikenal dan diper­caya.”
Menitipkan anak kepada pem­bantu atau supir mesti de­ngan komunikasi yang baik, dan pas­tikan memper­la­kukan de­ngan baik orang yang dipercaya.
   “Persoalan gaji saja bisa men­jadi pemicu aksi penculikan.”
   Selain itu anak perlu diajarkan menerima ajakan dari orang yang tidak dikenal. “Sampaikan ke si kecil mereka harus berani, te­gas, dan waspada. Disapa, dija­wab secara sopan, tapi tetap ha­rus berani melapor ke orang tua bila menemukan hal mencu­rigakan.”
    Kepada pembantu, baby sis­ter dan supir pun dibiasakan me­lakukan laporan ke para orang tua saat menjaga anak. Qardhavi

No comments:

Post a Comment