Tuesday, February 8, 2011

Parpol Asal-asalan Seleksi Calon Kepala Daerah

Calon Gubernur Karbitan
Bisa Picu Konflik Pilkada



Sejumlah calon kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) karbitan atau tidak diseleksi secara ketat oleh parpol ditengarai memiliki kontribusi terciptanya
konflik di pilkada.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ferry Tinggogoy kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Banyak calon kepala daerah karbitan yang maju di pilkada. Partai politik tampaknya sudah tidak benar dalam menseleksi calon pasangan untuk berlaga di pilkada. Hal ini yang memicu munculnya konflik dalam hasil pilkada,” papar Ferry.
Bekas calon Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) ini mengaku melihat sendiri parpol hanya asal-asalan menyeleksi calon kepala daerah.
”Orang mau mencalonkan diri jadi kepala daerah dari partai saja harus bayar, apalagi bukan dari partai. Bukan rahasia lagi jika ingin menjadi bupati harus bayar Rp 5 miliar. Ini semua merusak tatanan,” jelas anggota DPD asal Sulut ini.
Sebagai anggota DPD, dirinya kerap mendengar hubungan kepala daerah, misalnya bupati dengan gubernur atau bupati dengan walikota, tidak harmonis. “Hal ini karena masing-masing kepala daerah itu berasal dari partai politik yang berbeda,” jelasnya.
Sementara, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Prof Iberamsjah menyoroti masih rendahnya mental politisi daerah dalam mengikuti pilkada. Para politisi atau elite daerah, lanjutnya, masih menggunakan cara kotor untuk memenangkan pemilihan.
“Mereka tak mau kalah. Berbagai cara akan dilakukan untuk menjadi raja atau kepala daerah di daerahnya,” papar Iberamsjah kepada Rakyat Merdeka.
Bagi calon incumbent, lanjutnya, cara kotor yang akan dilakukan diantaranya praktik politik uang atau money politics, memobilisasi pegawai negeri sipil (PNS), pakai fasilitas pemerintah daerah (pemda) dalan lainnya.
“Ya, masih banyak cara kotor lain yang dilakukan mereka guna memuaskan hawa nafsunya,” jelasnya.
Maraknya permainan kotor dalam pilkada, ujarnya, tak lain karena lemahnya atarun pilkada. Selain itu, ketidakbecusan penyelenggara, seperti KPUD dan Panwaslu dalam melaksanakan serta mengawasi jalannya pilkada.
“Karena KPUD dan panwas tidak becus, maka akan memicu timbulnya konflik,” tegasnya. QAR

No comments:

Post a Comment