Wednesday, June 22, 2011

3 Modus Kepala Daerah Menutupi Kasus Korupsi

Hasil Pengamatan Ekonom Hendri Saparini (sub)

Praktik korupsi secara kolektif kepala daerah untuk menutupi kasus korupsinya masih terus jadi sorotan berbagai kalangan.
Hasil pengamatan pengamat ekonomi Hendri Saparini terungkap bahwa, paling tidak ada tiga modus yang dilakukan kepala daerah, baik di provinsi, kabupaten dan kota, untuk menutupi berbagai kasus korupsinya. Pertama, dengan mencalonkan diri untuk terus jadi kepala daerah.
Kedua, mencalonkan anggota keluarganya, kerabatnya atau orang-orang yang secara khusus diusung untuk menutupi kasus korupsi kepala daerah.
Menurut Saparini, antara kepala daerah periode lama dan baru biasanya memiliki keterikatan. Mereka justru ditugaskan untuk membungkam kasus korupsi yang pernah dilakukan kepala daerah sebelumnya.
“Jangan heran kalau ada kepala daerah yang diusung adalah kerabat bahkan istri dari kepala daerah periode sebelumnya. Mereka sengaja diusung untuk menjaga kasus korupsi periode sebelumnya tidak terungkap,” kata Saparini saat dihubungi Rakyat Merdeka, tadi malam.
Saparini mengaku, pernah menjadi panelis dalam fit dan proper test calon gubernur di sebuah daerah. Ia heran gubernur yang telah menjabat dua kali mencalonkan diri lagi menjadi wakil gubernur. Begitu pula yang dicalonkan adalah keluarga dari kepala daerah sebelumnya.
Menurutnya, beberapa kepala daerah menyusun dana pemilihan atau election budget yang diselewengkan dari kas APBD. Election budget itu digunakan kepala daerah untuk mencalonkan kembali dirinya di periode mendatang.
”Saya tidak pernah menjumpai kepala daerah yang mau hanya memimpin satu periode saja. Mereka pasti mencalonkan kembali karena mereka telah menyusun anggaran sedemikian rupa dari APBD untuk pemilihan selanjutnya,” terangnya.

Diakui, umumnya kasus korupsi kepala daerah terendus ketika sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala daerah. Atau keluarga, istri dan kerabatnya tidak bisa menggantikan posisi kepala daerah itu.
“Jika kerabat, keluarga atau orang yang ditugaskan kepala daerah itu berhasil menduduk kursi gubernur, bupati atau walikota, maka kasus korupsi kepala daerah sebelumnya akan ditutup-tutupi,” paparnya.
Modus ketiga yang akan dilancarkan kepala daerah untuk menutupi kasus korupsinya adalah dengan jadi kutu loncat, bergabung dengan partai politik penguasa.
Belakangan ini, dia mencurigai, banyaknya kepala daerah beralih ke partai penguasa. Pasalnya, kata dia, partai penguasa cukup memiliki kekuatan untuk memendam kasus korupsi agar tidak terkuak. “Itu sudah bukan rahasia umum.”
Saat ini, lanjutnya, partai penguasa menjadi tempat paling nyaman untuk berlindung dari pengusutan kasus korupsi.
Meski demikian, ujar Saparini, kepala daerah yang korup akan tetap jadi bidikan aparat hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah partainya tidak berkuasa lagi.
“Saat ini, orang pindah partai bukan karena ideologi, tapi untuk mencari kekuasaan, keamanan dan perlindungan agar kasus korupsinya tidak diutak-atik,” tambahnya.
Dia menilai, fenomena kutu loncat atau kepala daerah pindah dari partai satu ke partai lain adalah sebagai usaha penyelamatan diri dari masalah-masalah hukum yang dihadapinya. “Bahkan beberapa kepala daerah yang pindah ke partai penguasa berharap dapat melepaskan diri dari jeratan hukum,” tambahnya.
Saparini mengungkapkan, maraknya dana APBD yang diendapkan di bank sehingga bunganya bisa dimanfaatkan oleh pejabat daerah untuk kepentingan pribadi dan kelomponya.
“Seharusnya dana itu langsung disalurkan ke masyarakat, bukan ditahan di bank lama dengan maksud untuk mendapatkan bunganya. Ini kan jelas merupakan tindak pidana korupsi,” ujarnya.QAR

No comments:

Post a Comment